Asuransi Deposito
Selamat Datang dalam tulisan saya yang akan membahas atau mengkaji asuransi deposito, saya ucapkan mohon maaf atas kekurangan dalam tulisan. terimakasi telah mengunjungi dan membaca.
Asuransi Deposito
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum Asuransi
Dosen : Tuti Herawati, S.H., M.H.
Disusun Oleh:
Muhmmad Rayno Rachmadani Z. 17. 4301. 316
SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG
2019
*(DAFTAR ISI ADA DISINI, tetapi tidak saya masukan)
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Asuransi Deposito meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Tuti Herawati, S.H., M.H.
selaku Dosen mata kuliah Hukum Asuransi yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah hukum asuransi. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Bandung,
15 Mei 2019
Muhammad Rayno Rachmadani Z
Bab I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Asuransi atau
pertanggungan yang merupakan terjemahan dari insurance atau verzekering
atau assurantie, timbul karena
kebutuhan manusia. Seperti telah dimaklumi, bahwa dalam mempengaruhi hidup dan
kehidupan ini, manusia selalu dihadapkan kepada sesuatu yang tidak pasti yang
mungkin menguntungkan, tetapi mungkin pula sebaliknya.[1]
Menurut H.M.N
Purwosutjipto: “Pertanggungan adalah perjanjian timbal balik antara penanggung
dengan penutup asuransi, dimana penanggung mengikatkan diri untuk mengganti
kerugian, dan atau membayar sejumlah uang (santunan) yang ditetapkan pada waktu
penutupan perjanjian, kepada penutup asuransi atau orang lain yang ditunjuk,
pada waktu terjadinya evenement, sedangkan penutup asuransi mengikatkan diri
untuk membayar uang premi”.[2]
Sementara itu, dalam KUHD Pasal 246 menyatakan bahwa: Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada tertaggung, dengan menerima suatu premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tak tertentu.
Usaha asuransi merupakan suatu mekanisme yang memberikan
perlindungan pada tertanggung apabila terjadi risiko di masa mendatang. Apabila
risiko tersebut benar-benar terjadi, pihak tertanggung akan mendapatkan ganti
rugi sebesar nilai yang diperjanjikan antara penanggung dan tertanggung.
Mekanisme perlindungan ini sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis yang penuh
dengan risiko. Secara rasional, para pelaku bisnis akan mempertimbangkan untuk
mengurangi risiko yang dihadapi. Pada tingkat kehidupan keluarga atau rumah
tangga, asuransi juga dibutuhkan untuk mengurangi permasalahan ekonomi yang akan
dihadapi apabila ada salah satu anggota keluarga yang menghadapi risiko cacat
atau meninggal dunia. Perkembangan asuransi di Indonesia saat ini telah
mengalami kemajuan yang sangat pesat. Berbagai perusahaan asuransi
berlomba-lomba menawarkan program asuransi baik bagi masyarakat maupun
perusahaan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Ketentuan
Umum Perjanjian Asuransi Deposito
2. Asuransi
Deposito Diharapkan Dapat Mengatasi Risiko Nasabah Bank
C.
Tujuan
Makalah
1. Dapat
mengetahui ketentuan apa saja pada perjanjian asuransi deposito
2. Bisa
menganalisa bahwa asuransi deposito dapat mengatasi risiko nasabah bank
D. Tinjauan Pustaka
Landasan Hukum Lahirnya Jenis-jenis
Asuransi Varia.
Pasal
247 KUHD menyebutkan beberapa jenis asuransi yaitu asuransi kebakaran, asuransi
hasil pertanian, asuransi jiwa, dan asuransi pengangkutan. Akan tetapi dalam
praktek jenis-jenis asuransi itu lebih banyak dibandingkan dengan jcnis-jenis
yang disebutkan dalam Pasal 247 KUHD.
Di
dalam Pasal 247 KUHD tersebut terdapat kata-kata antara lain. Menurut Emmy
Pangaribuan Simanjuntak (1980:43) bahwa: “Pasal 247 itu secara yuridis adalah
tidak membatasi atau menghalangi timbulnya jenis-jenis pertanggungan lain
menurut kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat kita dasarkan pada kata-kata
“antara lain” yang terdapat di dalam Pasal 247 itu. Dengan demikian sifat dari
Pasal 247 itu hanyalah menyebutkan beberapa contoh saja atau numeratif. Dengan
demikian para pihak dapat juga memperjanjikan adanya pertanggungan bentuk
lain.”
Jadi
tumbuhnya jenis-jenis baru di bidang asuransi memang tidak dilarang oleh
undang-undang. Hal ini karena berdasarkan Pasal 247 KUHD tersebut di atas,
dibuka kemungkinan untuk lahirnya asuransi-asuransi baru selain disebutkan.
Sebagaimana
dapat disimpulkan dari Pasal 246 KUHD bahwa. Dengan demikian berlaku
ketentuan-ketentuan mengenai hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III
KUHPerdata. Dalam hal ini berlakunya KUHPerdata dalam perjanjian asuransi
didasarkan pada Pasal 1 KUHD yang menentukan bahwa: “Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, seberapa jauh daripadanya dalam kitab ini tidak khusus diadakan
penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam
kitab ini.”
Di
samping itu sebagai suatu Perjanjian terhadap asuransi berlaku asas kebebasan
berkontrak sebagai mana ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (l) KUHPerdata bahwa:
"Semua perjanjian yang dibuat secara syah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya."
Jadi
seperti juga dikemukakan oleh R. Subekti (1987:13) bahwa hukum perjanjian
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan.
Dengan
demikian adanya jenis-jenis baru di bidang asuransi yang menjadi dasar hukumnya
adalah Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata.
Dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata di atas disebutkan perjanjian yang syah. Syahnya
suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan bahwa:
“Untuk syahnya Perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat:
a.
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b.
kecakapan untuk membuat perikatan;
c.
suatu hal tertentu;
d.
suatu sebab yang halal.”
Sepakat
dalam suatu perjanjian berani adanya persesuaian kehendak yang terlepas dari
kekeliruan, paksaan dan penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata). Seseorang dapat
dianggap cakap apabila orang tersebut dapat melakukan perbuatan hukum untuk dan
bagi kepentingan sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal tertentu berani obyek
perjanjian itu harus dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUHPerdata). Suatu
sebab yang halal berarti perjanjian itu tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Dikatakan
oleh R. Setiawan (1987:57) bahwa syarat pertama dan kedua menyangkut subyeknya
dan syarat ketiga dan keempat mengenai obyeknya. Apabila suatu perjanjian tidak
memenuhi syarat obyektif, maka perjanjian itu akibatnya batal demi hukum.
Tetapi apabila perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif, maka akibatnya
peijanjian itu dapat dibatalkan. Dalam keadaan demikian yang berhak membatalkan
adalah pengadilan.[3]
Jadi
perjanjian asuransi supaya syah harus memenuhi syarat-syarat syahnya perjanjian
menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Akan tetapi timbul pertanyaan, apakah dalam hal
perjanjian asuransi sudah cukup dengan Pasal 1320 KUHPerdata? H.M.N
Purwosutjipto (1986:34) mengemukakan bahwa:
“Syarat-syarat
sebagai yang ditemukan dalam Pasal 1320 dan 1321 KUHPER itu bagi perjanjian
pertanggungan masih belum memuaskan karena itu ditambah lagi dengan ketentuan
Pasal 251 KUHD, yang mengharuskan adanya pemberitaan tentang semua mengenai
keadaan yang diketahui oleh tertanggung mengenai benda pertanggungan.”
Jadi
untuk perjanjian asuransi selain Pasal 1320 KUHPerdata juga ditambah dengan
Pasal 251 KUHD dalam menentukan syahnya. Khusus mengenai syarat dalam sub c
dari Pasal 1320 KUHPerdata mengenai obyek tertentu dalam perjanjian asuransi
adalah kepentingan yang diasuransikan.
Kepentingan
dalam perjanjian asuransi mutlak harus ada. Apabila tidak ada maka perjanjian
asuransi itu batal. (Pasal 250 KUHD).
Sehubungan
dengan tumbuhnya jenis baru dalam bidang asuransi, kepentingan itu dapat
diasuransikan asal memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 268 KUHD yaitu:
a.
Dapat dinilai dengan uang;
b.
Dapat diancam oleh suatu bahaya;
c.
Tidak dikecualikan oleh undang-undang.
Apabila
melihat pasal 268 KUHD, maka semua yang merupakan kepentingan yang memenuhi
syarat-syarat di atas dapat diasuransikan. Akan tetapi mengenai syarat dapat
dinilai dengan uang kurang cocok untuk asuransi sejumlah uang, misalnya
asuransi jiwa. Sebab kepentingan di situ tidak dapat dinilai dengan uang,
seperti hubungan kekeluargaan, jiwa dan lain-lain. Oleh karena itu Pasal 268
KUHD itu hanya berlaku untuk asuransi kerugian saja, misalnya asuransi
deposito. Jadi walaupun kepentingan yang dapat diasuransikan itu belum ada
pengaturannya yang berhubungan dengan adanya ketentuan asuransi. maka
berdasarkan kebutuhan dalam praktek untuk mengatasi risiko-risiko baru boleh
saja di antara mereka diadakan perjanjian asuransi (Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata) di atas, karena hal ini juga dimungkinkan oleh ketentuan dalam
Pasal 247 KUHD.
Dengan
demikian, maka ketentuan KUHD maupun KUHPerdata yang mendorong tumbuhnya
jenis-jenis baru dalam bidang asuransi antara lain Pasal 1338 ayat (1) Jo 1320
KUHPerdata, Pasal 246, 247, 268 Jo 250 KUHD.[4]
[1]
Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-Aspek
Hukum Asuransi Dan Surat Berharga, (Bandung: Penerbit Alumni, 1997), Hlm. 1.
[2] H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid
6 Hukum Pertanggungan, (Jakarta:
Djambatan,1986) Hlm. 10.
[3] R.
Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan,
(Bandung: Binacipta, 1987), Hlm. 57.
[4]
Man Suparman Sastrawidjaja,Endang. Hukum
Asuransi, (Bandung: Penerbit Alumni, 2004), Hlm. 49.
Bab
II
Pembahasan
A.
Ketentuan
Umum Perjanjian Asuransi Deposito
1. Resiko
dan perjanjian Asuransi.
Francis
T. Allen and Sidney I. Simon yang disitir Emmy Pangaribuan Simanjuntak
(1980:25) mengemukakan bahwa:
“Kemungkinan
bahwa manusia akan menghadapi suatu kerugian atau kehilangan sudah menjadi
suatu masalah bagi setiap umat sejak manusia tidak lagi bertempat tinggal di
taman firdaus (Dimana segala kebutuhan hidup sudah tersedia) dan harus berusaha
dengan tenaga dan pikirannya untuk mencukupi kebutuhan kehidupannya, untuk
memiliki harta kekayaan dcmi kelangsungan hidup." [1]
Kemungkinan
manusia menghadapi kehilangan atau kerugian itu merupakan suatu risiko. Risiko
yang dihadapi oleh setiap orang itu dapat mengenai baik atas hidupnya sendiri
maupun atas harta kekayaannya. Oleh sebab itu mengenai risiko ini ada yang
bersifat ekonomis, seperti terbakarnya rumah, hilangnya dana deposan di bank
dan lain-lain. Ada juga yang bersifat non ekonomis. seperti kematian, kecelakaan
dan lain-lain.
Berdasarkan
sifatnya risiko dibagi menjadi 2 bagian yaitu risiko mumi (pure risk) dan
risiko spekulatif (speculative risk). Risiko murni yaitu risiko yang dilihat
dari segi kerugiannya saja, misalnya deposan menghadapi kemungkinan kesulitan
atau kehilangan dalam hubungannya dengan mencairkan dana pada waktu tanggal
jatuh tempo sebagai akibat pailitnya bank atau direktur bank yang bersangkutan
melarikan diri dengan membawa uang nasabah. Dengan demikian deposan tersebut
menderita kerugian, Risiko Spekulatif yaitu risiko yang melahirkan 2
kemungkinan. Di satu pihak dapat menimbulkan kerugian di pihak lain dapat
menimbulkan keuntungan, misalnya A menjual mobilnya pada B dengan harga yang
murah. Di satu pihak merugikan bagi A sedangkan di pihak lain menguntungkan
bagi B.
Risiko
berdasarkan obyek yang dikenai dapat dibagi menjadi 3 bagian (Emmy Pangaribuan
Simanjuntak, 1983:10):
a.
Risiko perorangan atau pribadi (personal risk);
b.
Risiko harta kekayaan (property risk);
c.
Risiko tanggung jawab (liability risk).
Risiko
perorangan atau pribadi berhubungan dengan kematian atau ketidak mampuan dari
seseorang. Kematian merupakan suatu hal yang sudah pasti terjadi, akan tetapi
mengenai kapan matinya seseorang itu tidak dapat dipastikan. Seseorang juga
pada suatu waktu dapat tidak mampu lagi bekerja, misalnya karena kecelakaan,
sakit atau sudah tua, sehingga merupakan risiko perorangan juga. Oleh sebab itu
risiko perorangan ini dapat mengenai jiwa atau kesehatan seseorang. Risiko
harta kekayaan dapat terjadi karena suatu peristiwa secara tiba-tiba tanpa
diduga sebelumnya. Harta kekayaan itu ada yang secara langsung ditimpa
kerugian, seperti rumah terbakar. Sedangkan harta kekayaan yang tidak secara
langsung ditimpa kerugian dalam hal ini, misalnya keuntungan yang menjadi
lenyap ataupun hilang. Oleh karena itu semua kerugian atau kehilangan atas
harta kekayaan yang sewaktu-waktu mungkin timbul oleh suatu peristiwa adalah
menjadi risiko yang mengenai barang tersebut dinamakan risiko harta kekayaan.
Tanggung jawab seseorang juga dapat menjadi risiko. Hal ini berhubungan dengan
kerugian yang menimpa pihak ketiga sebagai akibat perbuatan orang tersebut.
Kerugian ini dapat menimpa orang dan barang orang lain. Misalnya bank tidak
dapat mengembalikan uang deposan pada tanggal jatuh tempo berarti bank itu
bertanggung jawab atas kerugian deposan tersebut. Mungkin juga seorang
pengendara mobil menimbulkan kecelakaan pada pihak lain sehingga bertanggung
jawab untuk mengganti kerugian.
Di
dalam kenyataannya ada beberapa usaha manusia untuk mengatasi suatu risiko
(Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1983:2) yaitu:
a.
Menghindari (avoidance);
b.
Mencegah (prevention);
c.
Memperalihkan (transfer);
d.
Menerima (assumption or retention).
Usaha
untuk mengatasi risiko di atas yang berhubungan dengan asuransi adalah
memperalihkan risiko. Memperalihkan risiko berani risiko yang akan dihadapi
atau yang menjadi tanggungjawabnya itu meminta pihak lain untuk menerimanya
Pihak
lain yang menerima peralihan risiko dapat menerima sebagian atau seluruhnya.
Apabila terjadi memperalihkan risiko itu sebagian, maka yang terjadi itu adalah
pembagian risiko, sedangkan apabila yang terjadi peralihan risiko itu
seluruhnya maka yang terjadi itu adalah peralihan risiko.
Peralihan
risiko itu sudah tentu tidak terjadi begitu saja, akan tetapi harus memberikan
kewajiban-kewajiban kepada pihak yang memperalihkan risiko. Hal ini harus
diperjanjikan lebih dahulu. Perjanjian yang khusus diadakan dengan tujuan unluk
memperalihkan dan atau membagi risiko inilah yang dinamakan dengan perjanjian
asuransi. Dengan demikian tujuan dari perjanjian asuransi adalah untuk
mengalihkan dan membagi risiko.
Perjanjian
asuransi dilihat dari bentuknya adalah merupakan perjanjian konsensual.
Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang sudah terbentuk sejak adanya
kata sepakat. Asas konsensualisme ini dalam hukum perjanjian dapat disimpulkan
dari ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Menurut R. Subekti bahwa (1987:15): “Bagi
hukum yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam
masyarakat, asas konsensualisme itu merupakan tuntutan kepastian hukum. Bahwa
orang yang hidup dalam masyarakat yang teratur harus dapat dipegang perkataan
atau ucapannya (“dipegang mulutnya”) itu merupakan tuntutan kepastian hukum
yang merupakan suatu sendi yang mutlak dari suatu tata hukum yang baik.”
Sifat
konsensual dari perjanjian asuransi ini terdapat dalam Pasal 257 KUHD yang
menentukan bahwa: “Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia
ditutup; hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dan penanggung dan
tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya
ditandatangani."
Jadi
sejak saat ditutupnya, perjanjian asuransi itu sudah terbentuk, bahkan sebelum
polis ditandatangani sekalipun. Pasal 257 KUHD tersebut merupakan penerobosan
terhadap Pasal 255 KUHD yang mensyaratkan bahwa perjanjian asuransi harus
dibuat dalam suatu akta yang dinamakan polis.
Akan
tetapi dengan adanya polis sebagai syarat mutlak tidak berani asuransi
merupakan perjanjian formal. Hal ini karena berdasarkan Pasal 257 KUHD bahwa
asuransi sudah terbentuk sejak adanya kata sepakat. Terlebih lagi apabila
disimpulkan dari ketentuan Pasal 258 KUHD bahwa lain-lain alat bukti
diperkenankan juga asal ada permulaan pembuktian dengan surat. Hal ini
dilakukan apabila hendak membuktikan adanya perjanjian asuransi sebelum polis
dibuat peristiwa yang diasuransikan sudah terjadi. Alat bukti lain yang
dimaksudkan di atas adalah alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1866
KUHPerdata, yang terdiri dari tulisan (surat), saksi, persangkaan, pengakuan
dan sumpah.
Permulaan
pembuktian dengan surat adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1902 ayat
(2) KUHPerdata yang menentukan bahwa: “Yang dinamakan permulaan pembuktian
dengan tulisan ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap
siapa tuntutan dimajukan atau dan orang yang diwakili olehnya dan yang
memberikan persangkaan tentang benamya peristiwa-peristiwa yang dimajukan oleh
seorang.”
Akta
tertulis sebagai permulaan pembuktian dengan surat itu misalnya kuitansi
pembayaran premi. catatan-catatan penanggung atau korespondensi kedua belah
pihak. Dalam hal ini antara penanggung dan tertanggung. Masalahnya apabila
permulaan pembuktian dengan surat juga tidak ada. Dalam hal ini menurut Wirjono
Prodjodikoro (1986:30) tidak ada jalan lain, kecuali pihak lawan secara tanya
jawab didorong untuk mengakui adanya perjanjian asuransi.
Sehubungan
dengan hal tersebut di atas ada para sarjana yang berlainan pendapat tentang
dapat atau tidaknya dikenakan sumpah (decisoir eed). Dorhout Mess (Wirjono
Prodjodikoro. 1986:30) cenderung untuk tidak memperbolehkan sumpah ini. dengan
alasan bahwa sumpah oleh B.W dinamakan alat bukti. Wirjono Prodjodikoro
(1986:30) dan Scheltema serta Nolst Trenite berpendapat sama bahwa permintaan
sumpah harus diperbolehkan karena menurut Pasal 1930 ayat (2) KUHPerdata
ditegaskan bahwa meskipun tidak ada bukti sama sekali sumpah ini dapat diminta.
Penulis
sependapat dengan Wirjono Prodjodikoro cs., karena walaupun bagaimana juga
hak-hak tertanggung tetap harus dilindungi. Oleh sebab itu sangat penting polis
itu ada, sebab dengan adanya polis dapat diketahui dengan pasti mengenai hak
dan kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian asuransi, walaupun pada dasamya
polis itu bukan syarat mutlak.
Sehubungan
dengan hal tersebut di atas Molengraff seperti yang disitir Wirjono
Prodjodikoro (1986:3) berpendapat bahwa: “Dalam praktek terjadi penyimpangan,
yang kadang-kadang:
a.
Dalam perjanjian asuransi kedua belah pihak menggantungkan terbentuknya
asuransi dari adanya polis. Kalau ini terjadi, maka adanya polis menjadi syarat
mutlak.
b.
Dalam perjanjian asuransi dibuat suatu polis yang memuat pemyataan kedua belah
pihak berjanji sesuatu. yaitu penjamin dan terjamin seperti dalam hal jual
beli. Polis seperti ini dinamakan: Contract-Polis.”
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan untuk memperalihkan dan atau membagi
risiko yang dihadapi seseorang, baik atas jiwanya sendiri maupun atas barang
dan tanggung jawabnya itu, baru mencapai sasarannya apabila dilakukan melalui
suatu perjanjian yang khusus diadakan untuk itu yaitu perjanjian asuransi.
Perjanjian asuransi ini pada dasarnya dituangkan dalam suatu akta yang
dinamakan polis. Dikatakan pada dasarnya, karena polis di sini bukan syarat
mutlak kecuali kalau diperjanjikan lain.
2. Beberapa
Prinsip dalam Sistem Hukum Asuransi.
Asuransi sebagai suatu perjanjian
dilengkapi juga dengan beberapa prinsip. Hal ini supaya sistem perjanjian
asuransi itu dapat dipelihara dan dipenahankan, sebab suatu norma tanpa
dilengkapi dengan prinsip cenderung untuk tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem hukum asuransi tersebut antara lain;
a.
Prinsip Kepentingan yang dapat diasuransikan (Insurable interest).
Prinsip ini dapat dijabarkan
dalam Pasal 250 KUHD yang menentukan bahwa: “Apabila seorang yang telah mengadakan
penanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang untuknya telah
diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya penanggungan itu tidak
mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka
penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi.”
Apabila disimpulkan, maka
ketentuan di atas mensyaratkan adanya kepentingan dalam mengadakan perjanjian
asuransi dengan akibat batalnya perjanjian tersebut seandainya tidak dipenuhi.
Hal ini karena penanggung tidak diwajibkan untuk memberikan ganti rugi.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 250 KUHD di atas untuk membedakan antara
asuransi dengan permainan dan penjudian.
Jadi pada saat ditutupnya
perjanjian asuransi itu harus ada kepentingan. Dapat timbul masalah kalau
kepentingan itu tidak dapat dibuktikan pada saat ditutupnya perjanjian
asuransi. Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak (1982:15) bahwa hal kepentingan
harus ada pada waktu ditutupnya perjanjian asuransi tidak sepantasnya dan dapat
menimbulkan ketidak adilan. Selanjutnya Molengraff, Volmar dan juga dalam
Marine Insurance Act 1906 yang disitir olch Emmy Pangaribuan Simanjuntak
(1982:15) mempunyai kesamaan pandangan bahwa yang penting pada waktu terjadi
peristiwa tak tenentu kepentingan itu dapat dibuktikan. Dengan demikian
kepentingan itu ada pada saat terjadinya kerugian.
Mengenai kepentingan ini KUHD
tidak memberikan rumusan secara otentik. Oleh sebab itu harus dicari dalam
doktrin. Molengraaff seperti yang disitir oleh Emmy Pangaribuan Simanjuntak
(1982:13) mengemukakan bahwa: “Pokok pertanggungan adalah hak subyektif yang
mungkin akan lenyap atau berkurang karena adanya peristiwa yang tidak tertentu.
Akan tetapi pendapat beliau ini kemudian diperluasnya sendiri dengan perkataan
: juga termasuk segala pengeluaran-pengeluaran yang mungkin harus dilakukan.”
Apabila disimpulkan pendapat
Molengraff mengenai kepentingan itu mempunyai pengertian yang luas yaitu baik
kepentingan yang dapat dinilai dengan uang maupun mengenai kepentingan yang
tidak dapat dinilai dengan uang. Pasal 268 KUHD tentang syarat-syarat
kepentingan yang dapat diasuransikan, mempunyai pengertian yang sempit karena
harus dapat dinilai dengan uang, sedangkan ada kepentingan yang tidak dapat
dinilai dengan uang. Kepentingan yang tidak dapat dinilai dengan uang misalnya
hubungan kekeluargaan, jiwa, anak, istri dan lain-lain.
b.
Prinsip Itikad Baik ( Utmost Goodfaith).
Dalam perjanjian asuransi unsur
saling percaya antara penanggung dan tertanggung itu sangat penting. Penanggung
percaya bahwa tertanggung akan memberikan segala keterangannya dengan benar. Di
lain pihak tertanggung juga percaya bahwa kalau terjadi peristiwa penanggung
akan membayar ganti rugi. Saling percaya ini dasarnya adalah itikad baik.
Prinsip itikad baik harus dilaksanakan dalam setiap perjanjian (Pasal 1338 ayat
(3) KUHPcrdala) termasuk dalam perjanjian asuransi.
Dalam perjanjian asuransi banyak
pasal-pasal yang dapat disimpulkan mengandung unsur prinsip itikad baik.
Pasalpasal itu antara lain Pasal 251, 252, 276, 277 KUHD. Tetapi yang paling
populer adalah Pasal 251 KUHD yang dikenal dengan kewajiban memberikan
keterangan. Dalam Pasal 251 KUHD tersebut asuransi menjadi batal apabila
tertanggung memberikan keterangan yang keliru atau tidak benar atau sama sekali
tidak memberikan keterangan. Di samping itu tidak dipersoalkan apakah
tertanggung beritikad baik atau buruk.
Jadi apabila disimpulkan Pasal 251
KUHD tersebut terlalu memberatkan tertanggung. Mengenai kekeliruan apabila
dihubungkan dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata), akibat
hukum dari kekeliruan itu adalah dapat dibatalkan. Sedangkan dalam Pasal 251
KUHD tetap batal. Dengan demikian Pasal 251 KUHD tersebut menyimpang dari
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam praktek Pasal 251 KUHD
tersebut sering diterobos dengan adanya klausula penyimpangan dalam asuransi
laut dan klausula penyimpangan dalam asuransi kebakaran. Klausula ini seperti
dikemukakan oleh Dorhout Mees yang disitir Emmy Pangaribuan Simanjuntak
(1982:49-50) dikenal dengan renuntiatie clausule (penyimpangan) dan bekendheid
clausule (mengetahui).
Dengan adanya klausula seperti
yang disebutkan di atas. maka dapat menghambat gugatan penanggung berdasarkan
Pasal 251 KUHD. Oleh sebab itu berarti dapat melindungi tertanggung yang
beritikad baik.
c.
Prinsip Keseimbangan (ldemniteit Principle).
Asuransi sebagaimana dapat
disimpulkan dari Pasal 246 KUHD merupakan perjanjian penggantian kerugian.
Ganti rugi disini mengandung arti bahwa penggantian kerugian dari penanggung
harus seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh tertanggung.
Keseimbangan yang demikianlah yang dinamakan prinsip keseimbangan.
Dalam KUHD tidak ada satu
pasalpun yang menyebutkan tentang prinsip keseimbangan. Akan tetapi ada juga
pasal-pasal yang mengandung arti dianutnya prinsip keseimbangan. Pasal-pasal
tersebut antara lain pasal 246, 250, 252, 253, 254, 271, 277, 278, 280, 284.
Salah satu contoh adalah Pasal 252 KUHD yang menentukan bahwa: “Kecuali yang
disebutkan dalam kctentuan-ketentuan undang-undang, maka tak bolehlah diadakan
suatu pertanggungan kedua, untuk jangka waktu yang sudah dipertanggungkan untuk
harganya penuh dan demikian itu atas ancaman batalnya pertanggungan ke dua
tersebut.”
Dari ketentuan di atas dapatlah
disimpulkan bahwa asuransi diancam batal, apabila diadakan asuransi yang kedua
atas suatu kepentingan yang telah diasuransikan dengan nilai penuh, pada saat
perjanjian asuransi yang kedua itu diadakan. Dalam Pasal 252 KUHD di atas juga
disebutkan mengenai pengecualian menurut undang-undang untuk diadakan asuransi
berganda.
Beberapa penulis berpendapat sama
bahwa asuransi berganda yang dikecualikan oleh Pasal 252 KUHD itu adalah lebih
tepat ditunjuk Pasal 277 KUHD (Emmy Pangaribuan Simanjuntak, l982:67, Wirjono
Prodjodikoro, 1986:77), H.M.N. Purwosutjipto, 1986:60).
Pasal 277 KUHD menentukan bahwa:
1). Apabila bctbagai
pertanggungan, dengan itikad baik. telah diadakan mengenai satu-satunya barang,
sedangkan dalam pertanggungan yang pertama harga sepenuhnya telah
dipertanggungkan, maka hanya pertanggungan pertama itulah mengikat, sedangkan
para penanggung yang berikutnya dibebaskan.
2). Apabila dalam pertanggungan
yang pertama itu tidak dipertanggungkan harga sepenuhnya, maka para penanggung
yang berikut bertanggungjawab untuk harga yang berikutnya, menurut tertib waktu
ditutupnya pertanggungan-pertanggungan yang berikut itu.”
Jadi Pasal 277 KUHD itu
terjadinya perjanjian yang berhubungan dengan asuransi berganda atas benda yang
sama dengan kepentingan yang sama dan untuk waktu yang sama dengan nilai harga
penuh.
Dengan demikian Pasal 252 KUHD
bertujuan untuk mencegah adanya penggantian kerugian yang menjadi melebihi dari
kerugian yang diderita dan mengharuskan adanya keseimbangan antara penggantian
kerugian dengan nilai benda yang diasuransikan. Emmy Pangaribuan Simanjuntak
(1982:65) mengemukakan bahwa:
“Sebagai dasar dimasukkannya atau
dipakainya asas perseimbangan itu dalam pertanggungan yang tepat kita tunjuk
adalah kepada suatu asas di dalam hukum perdata: Larangan mengenai
onrechtmatige verrijking. Larangan memperkaya diri secara melawan hukum, atau
memperkaya diri tanpa hak.”
Akan tetapi yang perlu
diperhatikan adalah mengenai berlakunya asas idemnitas ini hanya dalam asuransi
kerugian saja dan tidak berlaku dalam asuransi sejumlah uang. Hal ini karena
dalam asuransi sejumlah uang, ganti rugi tidak diseimbangkan dengan kerugian
yang sungguh-sungguh diderita, akan tetapi uang asuransi sudah ditetapkan
sebelumnya pada waktu ditutupnya perjanjian asuransi. Dasarnya sebab pada
asuransi sejumlah uang kepentingannya tidak dapat dinilai dengan uang.
d.
Prinsip Subrogasi (Subrogation Principle).
Apabila peristiwa yang tidak diharapkan
terjadinya nu dalam perjanjian asuransi terjadi, maka tertanggung dapat
menuntut penanggung untuk memberikan ganti rugi. Akan tetapi apabila sebab
terjadinya kerugian itu diakibatkan oleh pihak ketiga, maka berarti tertanggung
itu dapat menuntut penggantian kerugian dari 2 sumber. Sumber pertama dari
penanggung dan sumber kedua dari pihak ke tiga yang telah menyebabkan kerugian
itu. Penggantian kerugian dari dua sumber ini jelas bertentangan dengan asas
dalam perjanjian asuransi itu sendiri yaitu asas idemniteit dan asas hukum
tentang larangan memperkaya diri sendiri secara melawan hukum (tanpa hak).
Sebaliknya apabila pihak ketiga juga dibebaskan begitu saja dari perbuatannya
yang telah menyebabkan kerugian bagi tertanggung, sangatlah tidak adil.
Untuk mencegah terjadinya
penyimpangan-penyimpangan seperti di atas, undang-undang mengaturnya yaitu
dalam Pasal 284 KUHD yang menentukan bahwa:
“Seorang penanggung yang telah
membayar kerugian sesuatu barang yang dipenanggungkan, menggantikan si
tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga
berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut; dan si tertanggung itu adalah
benanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak si penanggung
terhadap orang-orang ketiga.”
Dengan adanya ketentuan demikian
berarti secara otomatis berdasarkan undang-undang, apabila terjadi kerugian
yang menimpa tertanggung oleh pihak ketiga, maka penanggung dapat menggantikan
kedudukan tertanggung untuk melaksankan hak-haknya terhadap pihak ketiga
tersebut. Jadi subrogasi berdasarkan undang-undang ini hanya dapat diberlakukan
apabila ada 2 faktor.
1. Apabila tertanggung di samping
mempunyai hak-hak terhadap penanggung juga mempunyai hak-hak terhadap pihak
ketiga.
2. Hak-hak itu adalah karena
timbulnya kerugian.
Di samping adanya subrogasi
berdasarkan undang-undang, dalam KUHPerdata juga dikenal subrogasi berdasarkan
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1400, 1401, 1402 dan 1403.
Subrogasi berdasarkan perjanjian
ini apabila ditelaah berbeda dengan subrogasi asuransi. Subrogasi berdasarkan
perjanjian ini merupakan penggantian hak-hak dari kreditur oleh seorang pihak
ketiga yang membayar kepada kreditur.
Jadi dalam subrogasi berdasarkan
perjanjian hak subrogasi justru ada pada pihak ketiga. Sedangkan dalam
subrogasi asuransi hak subrogasi ada pada pihak penanggung untuk menuntut pihak
ketiga. Contoh subrogasi asuransi dapat digambarkan sebagai berikut:
Bank berdasarkan tanggung
jawabnya menutup asuransi deposito pada perusahaan asuransi. Dikemudian hari
direktur bank melarikan diri dengan membawa uang nasabah. Berani perusahaan
asuransi yang harus mengganti kerugian nasabah. Di lain pihak perusahaan
asuransi juga mempunyai hak subrogasi untuk menuntut direktur yang melarikan
diri tadi. Dalam hal ini menggantikan kedudukan nasabah yang telah dirugikan
olehnya.
Apabila asuransi itu tidak dengan
harga penuh, maka penanggung hanya memberikan ganti rugi sebagian saja. Karena
ganti rugi hanya sebagian saja berani tertanggung masih mempunyai hak kepada
pihak ketiga untuk menuntut sisa kerugiannya.
Subrogasi asuransi ini hanya
berlaku dalam asuransi kerugian saja. Seperti dikemukakan oleh Volmar bahwa
berdasarkan putusan HR tanggal 31 Desember 1931, sebagaimana disitir Emmy
Pangaribuan Simanjuntak (1982:77) yang menetapkan Pasal 284 itu hanyalah
diperlakukan atas pertanggungan kerugian, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
“Tujuan dari aturan-aturan
undang-undang adalah tidak lain daripada baik untuk mencegah tertanggung untuk
kerugian yang sama, menerima ganti rugi dari penanggung dan dari orang ketiga,
maupun untuk mengatur pembarengan (samenloop) dari kewajiban-kewajiban
mengganti kemgian dari suatu kerugian yang sama; bahwa oleh karena itu, baik
kata-kata dari aturan undang-undang maupun tujuannya, dalam hal ini menolak
penerapan aturan itu atas pertanggungan berdasarkan mana penanggung itu terikat
“tidak untuk mengganti suatu kerugian,” seperti halnya di dalam sommen
Verzekering.”
Jadi oleh karena dalam asuransi
sejumlah uang itu tidak di dasarkan pada ganti rugi yang seimbang dengan
kerugian yang diderita, maka uang santunan sudah ditetapkan sebelumnya.
e.
Prinsip sebab akibat (Causaliteit Principle).
Timbulnya kewajiban penanggung
untuk mengganti kerugian kepada tertanggung apabila peristiwa yang menjadi
sebab timbulnya kerugian itu disebutkan dalam polis. Akan tetapi tidaklah mudah
untuk menentukan suatu peristiwa itu merupakan sebab timbulnya kerugian yang
dijamin dalam polis.
Terlebih-lebih apabila peristiwa
banyak sehingga sulit untuk menentukan mana yang menjadi sebab timbulnya
kerugian, sehingga dapat ditentukan apakah menjadi tanggung jawab penanggung
atau bukan. Dalam hal ini ada peristiwa-peristiwa yang menjadi tanggungan
penanggung dan ada yang tidak.
Ada 3 pendapat untuk menentukan
sebab timbulnya kerugian dalam perjanjian asuransi. Adapun pendapat-pendapat
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pendapat menurut peradilan di
Inggris terutama dianut yaitu sebab dari kerugian itu adalah peristiwa yang
mendahului kerugian itu secara urutan kronologis terletak terdekat kepada
kerugian itu. Inilah yang disebut Causa Proxima.
2) Pendapat yang kedua ialah di
dalam pengertian hukum pertanggungan, sebab itu tiap-tiap peristiwa yang tidak
dapat ditiadakan tanpa juga akan melenyapkan kerugian itu. Dengan perkataan
lain ialah tiap-tiap peristiwa yang dianggap sebagai conditio sinequa non
terhadap kerugian itu.
3) Causa remota: bahwa peristiwa
yang menjadi sebab dari timbulnya kerugian itu ialah peristiwa yang terjauh.
Ajaran ini merupakan lanjutan dari pemecahan suatu ajaran yang disebut “sebab
adequate” yang mengemukakan: bahwa dipandang sebagai sebab yang menimbulkan
kerugian itu ialah peristiwa yang pantas berdasarkan ukuran pengalaman harus
menimbulkan kemgian itu.
Jadi dengan demikian berdasarkan
sebab itulah timbul kerugian yang menjadi tanggungan penanggung. Akan tetapi
tidak semua sebab dapat menjadi tanggungan penanggung kecuali kalau polis
dengan klausula All Risks yaitu polis yang menanggung semua risiko. Dalam hal
ini juga terdapat kekecualian yaitu apabila sebab itu terjadi karena kesalahan
sendiri dari tertanggung (Pasal 276 KUHD).
f.
Prinsip Kontribusi.
Apabila dalam suatu polis
ditandatangani oleh beberapa penanggung, maka masing-masing penanggung itu
menurut imbangan dari qulah untuk mana mereka menandatangani polis, memikul
hanya harga yang sebenarnya dari kerugian itu yang diderita oleh tertanggung.
Prinsip kontribusi ini terjadi apabila ada asuransi berganda (double insurance)
sebagai dimaksud dalam Pasal 278 KUHD).
g. Prinsip Follow The Fortunes
Prinsip ini hanya berlaku bagi
re-asuransi, sebab di sini hanya penanggung pertama dengan penanggung ulang.
Dalam hal ini penanggung ulang mengikuti suka duka penanggung pertama. Prinsip
ini menghendaki, bahwa tindakan penanggung ulang tidak boleh mempertimbangkan
secara tersendiri terhadap obyek asuransi, akibatnya segala sesuatu termasuk
peraturan dan perjanjian yang berlaku bagi penanggung pertama, berlaku pula
bagi penanggung ulang.
Dari beberapa prinsip yang
terdapat dalam sistem hukum asuransi seperti telah diuraikan di atas, dapat
diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) Tidak semua prinsip-prinsip
asuransi berlaku bagi semua jenis asuransi. Dalam hal ini ada yang berlaku bagi
asuransi kemgian saja dan ada yang berlaku bagi asuransi sejumlah uang.
2) Prinsip-prinsip di atas semua
berlaku bagi asuransi kerugian. Hal ini karena dalam asuransi kerugian
kepentingan dapat dinilai dengan uang.
3) Prinsip-prinsip di atas yang
berlaku bagi asuransi sejumlah uang adalah hanya prinsip kepentingan yang dapat
diasuransikan, prinsip itikad baik, prinsip hubungah sebab akibat dan prinsip
follow the forums. Hal ini karena prinsip-prinsip yang lainnya itu menghendaki
adanya keseimbangan, sedangkan dalam asuransi jumlah tidak ada unsur
keseimbangan, karena uang asuransi sudah merupakan suatu hal yang disepakati
dalam perjanjian yang dibuat jauh-jauh sebelumnya bahwa uang asuransi
ditetapkan sebelumnya.
3. Manfaat
Asuransi Bagi Masyarakat dan Pembangunan.
Sebagai
akibat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka semakin
banyak pula kemajuan yang dicapai oleh bangsa Indonesia. Kemajuan tersebut
antara lain berdirinya gedung-gedung yang megah, industri pcsawat terbang,
peningkatan dunia usaha perbankan, asuransi dan lain-lain.
Akan
tetapi selain segi positif dari adanya perkembangan tersebut, juga banyak segi
negatif yang tidak jarang menimbulkan kerugian yang cukup besar. Kerugian itu
antara lain terbakarnya gedung-gedung, jatuhnya pesawat terbang, hilangnya dana
deposan dan Iain-lain. Dengan adanya risiko-risiko kerugian tersebut, maka
melalui lembaga asuransi dapat dialihkan untuk mengatasinya yaitu dengan
memberikan ganti kerugian apabila risiko itu bunar-benar terjadi.
Di
samping risiko-risiko kerugian yang dihadapi baik oleh masyarakat maupun
pemerintah seperti dia atas, juga ada risiko-risiko yang tidak sepenuhnya
mempunyai nilai ganti kerugian sesungguhnya. Dalam hal ini misalnya kematian,
kecelakaan, hubungan kekeluargaan dan lain-lain. Dalam hal ini juga dapat
diatasi melalui lembaga asuransi, sehingga orang atau keluarga tersebut dapat
mematuhi kebutuhannya seperti sedia kala.
Dalam
asuransi jiwa selain bersifat pengalihan risiko juga bersifat menabung. Hal ini
karena apabila kematian lebih lama dari yang ditemukan dalam penutupan asuransi
berani penanggung akan memberikan sejumlah uang sebagaiman sudah ditetapkan
sebelumnya.
Tabungan
inilah yang dapat disalurkan dalam turut membiayai pembangunan nasional, di
samping sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri.
Seperti dikemukakan oleh bendaharawan keuangan Inggris (H. Van Barneveld,
1980:12) yang menerangkan:
“Menabung
adalah salah satu alat pencegah yang paling baik terhadap inflasi, dan
pertanggungan jiwa dalam hal ini telah membuktikan jasanya yang tak ternilai.
Penanggungan itu tidak hanya menciptakan suatu cara menabung yang teratur,
tetapi selain daripada itu, yang artinya lebih penting lagi uang yang ditanam
dalam pertanggungan jiwa, tidak mudah diambil kembali. Dengan keuntungan ini
bagi bangsa, maka jasa-jasa yang semata-mata diberikan oleh pertanggungan jiwa
kepada individu, dapat berjalan bergandengan.”
Jadi
melalui premi asuransi dapat disalurkan lagi kepada sektor-sektor yang
produktif. Hal ini dapat terjadi misalnya dana yang diperoleh dari premi itu
dalam beberapa lama di dalam perusahaan dapat dipergunakan oleh perusahaan
tersebut untuk membiayai suatu usaha yang mendatangkan keuntungan baginya. Di
samping itu juga dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan usaha-usaha
dengan masyarakat dalam meningkatkan usaha-usaha dengan memberikan modal atau
kredit untuk jangka pendek atau jangka panjang. Usaha-usaha ini semuanya sudah
jelas membantu pembangunan ekonomi negara kita yang kemudian dapat menikmati
hasilnya oleh anggota masyarakat. Jadi semua premi yang terkumpul itu dapat
dipakai sebagai usaha investasi di dalam proyek-proyek ekonomi.
Dengan
demikian asuransi juga dapat dikatakan sebagai alat pembangunan. Hal ini
seperti diamanatkan dalam TAP MPR No. ll/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara pada arah dan kebijaksanaan pembangunan umum di bidang ekonomi dunia
usaha nasional bagian c, mengatakan bahwa:
“Dalam
rangka mengembangkan dunia usaha nasional agar makin mengembangkan kemampuan
dan perananya dalam mendukung pembangunan nasional menciptakan struktur ekonomi
yang lebih kokoh. terus didorong perkembangan kegiatan yang saling mengisi
secara efisien antar sektor usaha seperti pertanian, industri pertambangan,
perhubungan, konstsruksi, konsultasi, perdagangan, perbankan dan asuransi mulai
dari kegiatan yang paling hulu sampai dengan yang paling hilir.”
Sebagai
realisasi dari adanya amanat di atas, maka pada tanggal 20 Daember 1988
pemerintah mengeluarkan paket deregulasi di bidang asuransi diberikan
peluang-peluang dalam meningkatkan usahanya. Peluang-peluang itu antara lain
pendirian perusahaan asuransi baru, usaha asuransi campuran, pemasaran
polis-polis asuransi mulai dengan kebutuhan, pembukaan kantor-kantor cabang
baru sampai ke daerah-daerah.
Deregulasi
20 Member tersebut merupakan kelanjutan dari deregulasi di bidang moneter.
Keuangan dan perbankan pada tanggal 27 Oktober 1988. Dengan 2 deregulasi dalam
bidang lembaga keuangan ini, diharapkan dapat memupuk dan mengerahkan dana
masyarakat. Selanjutnya dana ini juga dapat meningkatkan produksi dalam negeri,
penyerapan tenaga kerja dan ekspor non migas.
Mengingat
pentingnya upaya pemupukan dan pengerahan dana masyarakat lewat asuransi serta
dalam rangka upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka
pemerintah sendiri semakin banyak turut serta dalam usaha asuransi ini. Usaha
asuransi yang diselenggarakan oleh pemerintah tersebut, pada umumnya lebih
bersifat jaminan sosial dan wajib. Hal ini karena mengingat Indonesia sebagai
negara yang salah satu tujuannya mencapai masyarakat yang sejahtera. Sehingga
turut campurnya dalam rangka meningkatkan, juga mencapai kesejahteraan
masyarakat itu merupakan salah satu tugasnya.
Asuransi
yang diselenggarakan oleh pemerintah itu antara lain Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang; Asuransi ABRI; Jaminan Sosial Tenaga Kerja; Pemeliharaan
Kesehatan Bagi Pegawai Negeri, Penerima Pensiun dan Anggota Keluarganya yang
lebih dikenal dengan sebutan Askes; Asunmi Sosial Pegawai Negeri Sipil, dan
lain-lain.
Asuransi
sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut Emmy Pangaribuan Simanjuntak (1980:
):
a.
Yang menyelenggarakan pertanggungan itu biasanya adalah pemerintah. Dengan
perkataan lain penanggungnya adalah pemerintah.
b.
Sifatnya hubungan hukum pertanggungan itu adalah wajib bagi seluruh anggota
masyarakat atau sebagian anggota masyarakat.
c.
Penentuan penggantian kerugian diatur oleh pemerintah dengan peraturan.
d.
Tujuannya adalah untuk memberikan suatu jaminan sosial (Social Security), bukan
untuk mencari keuntungan. Melaksanakan apa yang menjadi tujuannya ini adalah
merupakan kewajiban bagi pemerintah.
Akan
tetapi walaupun dana dari asuransi itu pentingnya bagi pembangunan, di samping
asuransi itu sendiri dapat menjadi upaya dalam mengatasi risiko masyarakat,
masih banyak hambatan-hambatan yang sedikitnya mengurangi perkembangannya.
Hambatan-hambatan
itu antara lain tingkat perekonomian dan pendapatan dari masyarakat kita yang
masih rendah. Bagaimana orang dapat membayar premi apabila penghasilannya hanya
cukup untuk membiayai kebutuhan pokoknya saja. Selanjutnya mengenai kesadaran
berasuransi di Indonesia kini masih menunjukkan prosentase kenaikan yang rendah
dan bahkan tidak stabil. Lain halnya dengan di negara-negara maju seperti yang
ditulis oleh Mehr dan Cammack (Man Suparman Satrawidjaja, 1984:104):
“Di
negara-negara maju asuransi mendapat tempat utama bahkan kemajuan negara itu
didorong dan seiring dengan kemajuan asuransinya. Asuransi merupakan jaminan
dan payung kemajuan dan kehidupan.”[2]
B.
Asuransi
Deposito Diharapkan Dapat Mengatasi Risiko Nasabah Bank.
1.
Dasar Hukum
Diperlukannya Asuransi Deposito Dalam Usaha Perbankan
Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa tugas
pokok Bank Indonesia selaku Bank Scntral adalah membantu pemerintah dalam
mengatur. menja‘ga dan mcmelihara kcstabilan nilai rupiah, mendorong kelancaran
produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan
taraf hidup rakyat. Sehubungan dengan tugas pokok tersebut, maka dalam bidang
pcngawasan dan pembinaan perbankan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30
Undang-Undang Nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral bahwa;
"Bank membina perbankan dengan jalan:
a. Memperluas, memperlancar dan mengatur lalu lintas
pembayaran giral dan menyelenggarakan kliring antar bank.
b. Menetapkan ketentuan-kctemuan umum tentang
solvabilitas dan likuiditas bank-bank.
c. Memberikan bimbingan kepada bank-bank guna
menata-pelaksanaan bank sccara sehat-sehat."
Dari ketentuan temebut di atas dapat diketahui
bahwa Bank Sentral berkewajiban untuk membina dan mengawasi perbankan di
Indonesia. baik dari sudut ekonomi perusahaan temtama dengan jalan pcngaturan
dan penjagaan likuiditas dan solvabilitas bank maupun dari sudut monster dehgan
jalan pengaturan dan pengawasan terhadap pemben'an kredit. Kewajiban terscbul
dilaksanakan dalam ranglra usaha perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan
urusan perbankan. Tujuan pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia terhadap
bank-bank ialah (O.P Simorangkir, 1989: 150-153):
a. Merupakan sarana dalam melaksanakan
kebijaksanaan moneter. Bank-bank tidak diperbolehkan menyimpang dan' garis
kebijaksanaan moneter yang diletapkan oleh pemerintah.
b. Merupakan sarana dalam pelaksanaan
pembangunan. Dalam hal ini bank harus mengarahkan operasi kreditnya sesuai
dengan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) V berorientasi kepada sektor
penanian dan industri. Untuk melaksanakan pembangunan telsebut, dana-dana
perbankan diulamakan untuk disalurkan ke sektor-sektor penanian dan induslri
dengan tidak melupakan seklor-sektor lainnya.
c. Berkembang berdasarkan asas-ass perbankan
yang sehat. Perbankan yang sehat merupakan suatu kebarusan, sebab perbankan
selaku lembaga keuangan yang menyalurkan keuangan dalam proses ekonomi harus
sehat. Perkembangan ekonomi dapat berjalan dengan baik apabila keuangannya
sehat.
d. Dapat melindungi kreditur bank. Sudah
selayaknya bank yang mendapat kepcrcayaan dari nasabah menyimpan atau
menitipkan uangnya tidak akan mengurangi kekurangan nilai nominal terhadap uang
simpanan tersebut. Sctiap bank hams dapat melunasi utangnya yang segera dapat ditan‘k
ataupun perlunasan kewajiban-kewajibannya.
Sehubungan dengan pembinaan dan pengawasan
bankbank oleh Bank di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan asuransi
deposito. maka sebagai realisasi dari Pasal 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
-1968 Pemerimah telah mengeluarkan Peraturan Pemerimah Nomor 34 Tahun 1973
tenlang Jaminan Simpanan Uang pada Bank. Dalam Peraluran Pemen‘nlah nomor 34
Tahun 1973 tersebut amara lain disebutkan bahwa saJah sam usaha yang dapat
dijalankan untuk lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat pada Bank ialah
dengan cara mengadakan suatu jaminan simpanan uang pada Bank (Asuransi
deposilo). Namun sampai sekarang kcputusan pemerimah terscbut belum dapat
dilaksanakan olch Bank Indonesia. mengingat banyak kendala yang masih lerdapat
dalam pengembangan asuransi deposilo di Indonesia (Lihat Bab 11 Sub C butir 5).
sehubungan dengan simpanan pihak ketga pada bank
yang dalam rulisan ini adalah deposito beljangka. maka sepeni telah dikemukakan
terdahulu bahwa pembukaan rekening deposito adalah melalui perjanjian amara
bank dengan dcposan. Perjanjian deposito itu seolah-olah mirip dengan
perjanjian penitipan barang sepcni yang dhemukan dalam Pasal 1694 KUHPerdata.
Akan letapi apabila dikaji lebih lanjut terdapat ' perbedaan amara peljanjian
peniu'pan bamng dengan perjanjian deposito. Dalam perjanjian penitipan barang.
barang itu tidak boleh dipakai oleh pihak yang menerima pcnitipan dan hams
dikembalikan dalam ujud semula. Di samping itu dalam perjanjian penitipan
barang mungkin terdapat upah yang diben'kan kepada pihak yang menerima
penitipan. Sedangkan dalam perjanjian deposito jusu'u uang yang dititipkannya
itu dipakai oleh bank dan bahkan bunga itu diberikan oleh bank kepada deposan.
Jadi bukan dari penin'p (deposan) kepada bank.
Dengan demikian perjanjian deposito kurang tepat
dimasukkan ke dalam perjanjian penitipan. R. Subekti (1987: 117) mengemukakan
bahwa petjanjian deposito adalah perjanjian pinjam uang dengan bunga Apabila
dikaji perjanjian deposito dimasukkan kc dalam perjanjian pinjam uang dcngan
bunga maka hams dianikan bank sebagai peminjam (debitur). Yang hams membayar
bunga kepada deposan.
Berdasarkan hal-hal tetsebut di atas. maka
penulis ber‘ pcndapal bahwa petjanjian deposilo adalah perjanjian lak bernama.
Oleh karena pcrjanjian maka bcrlaku kelcnluan umum dari buku III KUHPcrdala.
sebab pcrjanjian dcpnsuo udak wrdapat dalam macam-macam pchanJian menurut
KUHPerdta. (Pasal 1319 KUHPerdata).
Dalam rangka perlindungan lerhadap kredilur bank
maka Bank Indonesia itu dapal membamu perbankan lainnya amara lain dengan
jalan:
a. Kredit likuiditas. yang terbagi 3:
l). kredit likuiditas saja yaitu kredit yang
diberikan oleh bank komersial sebagai dana untuk membiayai perkredita atau
sebagai tambahan penyaluran dana-dana
2). Kredit likuidits umum yaitu kredit yang di
ediakan oleh bank Indonesia kepada bank komersial yang mengalami kesulitan
likuiditas sebagai akibat perubahan mendadak diluar kekuasaan bank komerial.
Misalnya kebijakan 12 september 1986 yang merupakan akibat tindakan dalam
bidang mooneter yang merubah kurs $1.- dan juga pengembangannya terhadap kurs
valuta asing menyebabbkan beberapa bank memnyebabkan likuiditas. Untuk itu bank
indojnesia membantu beberapa bang tersebut dengan kredit likuiditas
darurat umum.
3) kredit likuiditas khusus yaitu kredit yang
diberikan oleh abank Indonesia, karena bak komersial kesultan di dalam faktor
inter. Misalnya pelunasan sebagaina kredit yang diberikan bank komerial kurang
lancar, sehingga dapat mengganggu likuiditas bang di dalam ini adalah
kewajibannya, seandainya nasabah menarik uang simpananya (O.P simorangkir,1998
7-8)..
b. Kerling
kerling adalah sarana perhitungan warkat amar
bank da dilaksanakan oleh Bank Indonesia guna memperluas dan mcmperlancar
lalu-limas pembayaran giral. Lalu-limas pembayaran giral yaitu kcgiatan bayar
mcmbayar dengan warkat bank yang dipcrhitungkan alas bcban dan untuk kepemingan
nasabah bank yang telah ditetapkan. Adapun yang dimaksud dcngan warkat kliring
adalah alat-lalu Iintas dalam pembayaran giral yang dipcrhitungkan dalam
kliring. Warkat kliring terdiri dari cek, bilyct giro, Surat bukli penen'maan
transfer dari luar kota, wesel bank untuk transfer kredit dan nota dcbel,
semuanya dinyatakan dalam mpiah dan bemilai nominal penuh (100% fac value). Kliring
diselenggarakan di suaru wilayah klin‘ng. Wilayah kliring adalah suatu
lingkungan tenentu yang memungkinkan kamor-kantor bank memperhilungkan
warkatwarkatnya dalam jadwal kliring yang telah ditemukan. Apabila di wilayah
tersebut tidak ada kamor Bank Indonesia. maka pcnyclcnggaraan klin'ng
diserahkan kepada bank yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
C. Pasar uang antar bank (Interbank call money
market).
Pasar uang amar bank ini dimaksudkan untuk
mcmenuhi kcbutuhan dana-dana bank misalnya:
1). Bank-bank yang sangat memerlukan
danatambahan untuk menutup kekalahan klin'ng pada hari yang bersangkutan dan
atau untuk memenuhi ketcmuan kewajiban untuk pemeliharaan likuiditas.
2). Bank~bank yang mempunyai kelebihan.dana
(idle) dapat menjadikan dana tersebut unluk eaming assets dalam rangka mendapat
rentabilitas yang optimal dengan cara meminjam hanya untuk waktu yang relatif
pendek.
Dalam bidang pembinaan perbankan dan dalam rangka
perlindungan perbankan selain yang disebutkan di atas. Pada
kenyataannya masih ada salu mckanisme
pcdindungan krcditur perbnnkan yang bclum dilaksanakan. Adapun yang dimaksudkan
adalah perlindungan nasabah mclalui lcmbaga asuransi. Perlindungan nasabah
mclalui lcmbaga asuransi. Dalam ha] ini adalah asumnsi dcposito. Mcngcnai
asuransi dcposilo ini di» adakan apabila dalam praklck pcrbankan tclah
mcmungkinkan. Hal ini scbagaimana dilcnlukan dalam Pcnjclasan Pasal 30
Undang-Undang Nomor 13 Tahun I968 tentang Bank Sentral bahwa:
"Dalam rangka pcmbinaan pcrbankan. maka
jika kcadav annya lclah mcmungkinkan. unluk lcbih mcnjamin uang pihak kcliga,
yang dipcrcayakan kcpada bank-bank da~ pat diadakan sualu "Asuransi
Deposilo“ dcngan tujuan pcmbinaan kcpcrcayaan masyarakal lcrhadap
pcrbankan"
Jadi asuransi dcposito dapat diadakan apabila
kcadaan’ nya tclah memungkinkan. Adapun yang dimaksudkan dcngan keadaan yang
memungkinkan dalam kcpustakaan Lidak ditcmukan mcngcnai rumusannya.
Sehubungan dengan praktck pcrbankan sclama ini.
terutama sctelah adanya Paklo 1988 yang mcnimbulkan dampak tumbuhnya pcrsaingan
yang scmakin ketat cenderung timbulnya persaingan yang kurang sehat. Hal ini
lidak mcnulup kemungkinan adanya bank-bank yang pailit atau tersingkir dari
peredaran kalah bersaing.
Dengan demikian sudah mempakan suatu keadaanflklim
dunia usaha di bidang perbankan yang memungkinkan adanya lembaga yang dapat mengatasi
risiko nasabah bank (deposan) melalui lembaga asuransi deposito. Apalagi dcngan
adanya ketentuan lanjulan dari Paklo I988 yailu lcnlang kcbijaksanaan di bidang
Tabanas. Tabungan lainnya maupun deposilo berjangka pada akhir Desember 1989
yang tidak mcnjamin jenis tabungan dan deposito. baik yang sedang diselenggarakan
bank swasta maupun bank pemerintah. oleh Bank Indonesia.
Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan
perlakuan yang sama kepada dunia. usaha perbankan. baik: pemerintah maupun
swasta untuk mcnyelenggarakan usahanya secara prfosional, sehingga akan tumbuh
dunia usaha perbankan yang kokoh dan kual scsuai dcngan tumutan zaman. Di lain
pihak pcrlindungan lerhadap pcrbankan itu scndiri dari suatu k6mungkinan
insolvcnsi nasahah pcncrima Kredit Investasi nasabah Kredil lnvcstasi chil dun
Krcdit Modal Kcrja Pcrmanen dijamin dcngan Asuransi Kredil Indonesia
(Askrindo). Oleh karena itu sudah saamya dibcmuk suatu Icmbaga yang dapat
mcngalasi risiko deposito yaitu asuransi deposito. Dcngan dcmikian mengenai
dasar hukum dipcrlukannya asuransi deposito ini adalah terdapat daJam Pasal 30
Jo Penjelasan Undang-Undang Bank Sentral Nomor l3 tahun 1968.
Berdasarkan hal-hal tersebut di alas, maka sudah
saatnya dirintis usaha untuk membentuk adanya lembaga yang dapat mengatasi
risiko nasabah bank yaitu asuransi deposito, mengi ngat keadaan dunia usaha
perbankan dewasa ini sudah menuntut untuk segera diadakan.
2. Ruang Lingkup Asuransi Yang Dapat Ditutup
Dengan Asuransi Deposito.
Berdasarkan tujuannya asuransi mempakan lembaga
pengalihan dan pembagian risiko. Risiko yang sungguh-sungguh diderita oleh
seseorang atas hilangnya hana kekayaan termasuk kc daJam n'siko ekonomis atau
n'siko yang dapat dinilai dengan uang. Dengan demikian seseorang yang
kemungkinan dapat terkena peristiwa yang menimbulkan kerugian atas harta
kekayannya dapat melakukan upaya untuk mengatasi risiko tersebut. Upaya untuk
mengatasi n'siko yang berhubungan dengan asuransi adalah mengalihkan atau
membaginya dengan pihak lain. dalam hal ini perusahaan asuransi.
Deposito sewaktu-waktu dapat mengalami suatu
risiko yaitu kesulitan mencairkan uangnya yang disimpan pada bank pada waktu
tanggal jatuh tempo, sehjngga deposan kemungkinan kehilangan uangnya atau
nilainya berkurang, baik simpanan pokok maupun bunganya. Timbulnya risiko dalam
ha] ini dapat disebabkan oleh pailitnya bank yang menjadi debitumya dan atau
direktur bank yang bersangkutan melarikan diri dengan membawa uang nasabah.
Sehubungan dengan asuransi deposito. maka risiko deposan tetsebut dapat diatasi
dengan mengalihkan pada perusahaan asuransi. Sehingga apabila risiko deposan
itu benar-benar terjadi menimpanya maka pcrusahaan asuransi deposito kan
mengganti kerugian deposito.
Di samping adanya resiko kerugian deposan di
atas yaitu sebagai akibat pailitnya bank dan atau direktur bank yang
bersangkutan melarikan diri dengan membawa uang nasabah. juga ada risiko-risiko
kerugian deposan yang diakibalkan oleh kredit macet. Kredit macet menyebabkan
dana perbankan yang berada pada debilur tidak dapat dikembalikan sesuai dengan
jangka waktu kmdit yang lelah ditentukan. Dalam hal ini dapat Leljadi misalnya
adanya kredit lanpa jaminan, sehingga pada waktu insolvensi dari nasabah (debitur)
benda jaminannya pun tidak ada. Lebih jauh akibamya adalah timbulnya kerugian
pada deposan bank yang kreditnya macet tersebut. karena pada waktu tanggal jatuh
tempo uang yang harus dikembalikan oleh bank kepada deposan tidak ada.
Risiko-arisiko yang lainnya juga dapat
diakibatkan adanya inflasi. Dengan adanya inflasi berani tumnnya nilai mata
uang dan mengakibatkan uang deposan yang disimpan di bank juga tumt terkena
inflasi. Di samping inflasi juga dapat ter jadi risiko kerugian deposan yang
diakibatkan oleh adanya risiko politik. Dalam hal ini misalnya negara dalam
keadaan perang. Dengan kata lain keuangan negam juga terancam, beram' juga
kemgian bagi dunia usaha perbankan juga termasuk di dalamnya deposan. Dengan
demikian dalam hubungan asuransi deposito, maka risiko-risiko yang menjadi
ruang lingkupnya itu antara lain:
a. Kepailitan bank.
b. Direktur bank bersangkutan melarikan din‘
dcngan membawa uang nasaban
c.Kredit macet.
d. Risiko politik.
Risiko-risiko yang dapal diadakan dalam hubungan
dcngan asuransi dcposilo itu tidak perlu memakai limit tertentu. Hal ini dapal
mcnyulllkan dalam pelaksanaan klaim pada waktu terjadinya kerugian (evanemen).
Scbab kerugian-kerugian yang tidak terjangkau oleh risiko-risiko yang sudah
ditemukan, maka tidak akan mendapat ganti rugi dan bahkan penanggung dapat
mencari-cari alasan untuk menghindari penggantian kerugian. Berdasarkan hal-hal
tersebut. maka risiko kerugian yang dialami deposan itu yang penling adalah
berhenti membayar dari bank yang bersangkutan.[3]
Dari apa yang diuraikan di atas, maka dapat
diberikan beberapa komentar bahwa ruang lingkup yang dapat diadakan dalam
hubungan dengan asuransi deposito itu dapat menggunakan limit tertentu dalam
arti risiko-risiko yang dijamin itu ditentukan atau hanya terbalas pada berhentinya
pembayaran dari bank kepada deposan. Penulis sendiri berpendapat bahwa yang
penting pada waktu bank berhenti membayar, maka perusahaan asuransi deposito
mengganti kerugian deposan. Jadi tidak perlu menggunakan limit risiko tertentu.
3. Para Pihak Yang Dapat Terkait Dalam
Asuransi Deposito.
Dari ketentuan pasal 246 KUHD dapat disimpulkan
bahwa dalam perjanjian asuransi itu terdapat 2 pihak yaitu penanggung dan pihak
tenanggung. Lain halnya dalam asuransi jiwa yang dapat menimbulkan 3 pihak
yaitu penanggung. tenanggung yang menutup peljanjian asuransi dan orang yang
diasuransikan
Dalam hubungannya dengan asuransi deposito dapat
m6: nimbulkan 3 pihak yaitu bank. deposan dan perusahaan asuransl yang menerima
penutupan perjanjian asuransi deposito. Dalam pelaksanaannya penumpan perjanjian
asuransi deposito dapat terjadi dengan 2 kemungkinan. Kemungkinan yang panama
adalah penumpan perjanjian asuransi deposito dilakukan oleh bank. Bank menutup
perjanjian asuransi deposito berdasarkan tanggung jawabnya atas hilang atau berkurangnya
deposito. Tanggung jawab ini lahir berdasarkan perjanjian yang dibuat antara
bank dengan deposan yaitu perjanjian deposito.
Dalam pcrjanjian deposito bank mempunyai
kewajiban untuk memenuhi perjanjian itu yaitu mengembalikan uang pokok dan
bunga deposan tepat pada waktu yang sudah ditcmukan dalam perjanjian. Oleh
karena itu apabila pada waktu tanggal jatuh tempo, bank tidak mengembalikan
uang deposan bertanggung jawab atas hilang atau berkurangnya uang deposan tersebut.
Risiko alas hilang atau berkurangnya uang deposan
selaku nasabah bank dalam hal ini menjadi tanggung jawab bank selaku pihak yang
berkewajiban melindungi uang deposan tersebut berdasarkan perjanjian. .Oleh
karena itu untuk mengatasi risiko yang mungkin dialami deposan tersebut sebagai
tanggung jawab bank, maka bank mengalihkannya kepada pihak perusahaan asuransi
deposito selaku penanggung.
Dengan demikian apabila terjadi kepailitan bank
yang menyebabkan kerugian bagi nasabah, perusahaan asuransi deposito akan
mengganti kerugian kepada deposan. Deposan selaku pihak yang dirugikan sudah
tentu berhak atas suatu ganti rugi yang diberikan perusahaan asuransi deposito.
Hak deposan ini ditunjuk dalam perjanjian asuransi deposito antara bank dengan
perusahaan asuransi bahwa yang akan menerima ganti rugi seandainya terjadi
pcristiwa yang diasuransikan Icrjadi. Hal ini didasarkan atas pcnimbangan,
bahwa yang bcrkcpcmingan alas hilangnya uang yang menjadi obyek asuransi adalah
de posan. Sedangkan yang bcrhak mencrima ganti rugi bcrdasarkan Pasal 250 KUHD
adalah yang berkcpcmingan. Pihak yang tidak berkepentingan tidak berhak alas
penggantian kemgian Bank yang menutup perjanjian asuransi deposito merupakan
pihak yang tidak bcrkcpemingan atas hilangnya uang dcposan. Hubungan hukum
antara perusahaan asuransi dcposito dcngan deposan adalah pemenuhan prestasi
sebagai janji untuk kepentingan pihak ketiga yang dituangkan dalam perjanjian
amara bank dengan perusahaan asuransi deposito. Bank menunjuk deposan sebagai
pihak penerima ganti rugi. Mengenai janji.
untuk kepentingan pihak ketiga ini seperti yang
ditentukan dalam Pasal I317 KUHPerdata bahwa para pihak dapat mcngadakan
pcrjanjian dcngan janji bnhwa salah salu plhak dibcbankan kewajiban unluk
melakukan prestasi kepada pihak ketiga yang ditunjuk dalam perjanjian tersebut.
Apabila bank yang mcnulup pcrjanjian asuransi
deposito sepcru' di alas. maka yang lcrjadi adalah asuransi tanggung jawab
bcrdasarkan pcrjanjian. Hal ini berdasarkan tanggung jawab bank yang memang
lahir dari pcrjanjian deposilo. Masalahnya apakah bank mau menutup dan membayar
premi asuransi. Hal ini dapat diadakan apabila asuransi deposito di. jadikan
asuransi wajib.
Kemungkinan yang kedua adalah penutupan
perjanjian asuransi dilakukan oleh deposan itu sendiri. Akan tetapi hal ini
kemungkinan yang kecil sekali untuk mrjadi, sebab deposan akan keberamn
membaya: premi apalagi setelah deposito dikenakan pajak penghasilan. Di samping
itu deposan akan memilih bank-bank lain yang dianggapnya bonaflde.
Apabila yang teljadi dalam penutupan perjanjian
asuransi deposito adalah antara deposan dengan perusahaan asuransi deposito,
maka yang menjadi tenanggung dan berkewajiban membayar premi adalah deposan.
Sedangkan yang menjadi pcnanggung adalah perusahaan asumnsi deposito dan
berkewajiban membayar ganti rugi apabila peristiwa yang diasuransikan teljadi.
Dari 2 kemungkinan yang mungkin tetjadi seperti
diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa:
a. Apabila penutupan
perjanjian asuransi deposito dilakukan oleh bank kepada perusahaan asuransi
deposito. maka yang terjadi adalah asuransi Langgung jawab berdasarkan
petjanjian. Perjanjian di sini adalah perjanjian deposito amara bank dengan
deposan.
b. Hubungan hukum antara
perusahaan asuransi deposito adalah pemenuhan prestasi yang ditunjuk dalam perjanjian
asuransi deposito sebagai janji untuk kepentingan pihak ketiga (Pasal 1317
KUHPcrdata). hal ini apabila yang
menutup asuransi desposito adalah bank. Sedangkan apabila yang menurut
perjanjian asuransi deposito adalah deposan sendiri. maka hubungan hukumnya
dcngan pcrusahaan asuransi desposito adalah perjanjian asuransi yang diatur
dalam KUHD.
c. kepentingan dalam
asuransi langgung jawab berdasarkan perjanjian yang dilakukan oleh bank adalah
kewajiban dari bank untuk mcngganti kerugian sedangkan kepentingan dalam
asuransi deposito yang ditutup oleh deposan adalah hilang atau berkurangnya
uang deposan pada bank. [4]
[1]
Emmy Pangaribuan Simanjuntak. Hukum
Pertanggungan. (YogyaKarta: Liberty, 1980). Hlm. 25.
[2]
Man Suparman Sastrawidjaja,Endang. Hukum
Asuransi. (Bandung: Penerbit Alumni, 2004), Hlm. 65.
[3]
Man Suparman Sastrawidjaja,Endang. Hukum
Asuransi. (Bandung: Penerbit Alumni, 2004), Hlm. 102.
[4]
Man Suparman Sastrawidjaja,Endang. Hukum
Asuransi. (Bandung: Penerbit Alumni, 2004), Hlm. 105.
Bab III
Penutup
A.
Kesimpulan
Kemungkinan
manusia menghadapi kehilangan atau kerugian itu merupakan suatu risiko. Risiko
yang dihadapi oleh setiap orang itu dapat mengenai baik atas hidupnya sendiri
maupun atas harta kekayaannya. Oleh sebab itu mengenai risiko ini ada yang
bersifat ekonomis, seperti terbakarnya rumah, hilangnya dana deposan di bank
dan lain-lain. Ada juga yang bersifat non ekonomis. seperti kematian,
kecelakaan dan lain-lain.
Prinsip
dalam system hukum asuransi yang utama
ada prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest), kemudian
prinsip itikad baik (utmost goodfaith), dan prinsip keseimbangan (indemniteit
principle).
Asuransi
deposito diharapkan dapat mengatasi risiko nasabah bank. Tentu asuransi
deposito sangat diperlukan kan pasti digunakan oleh masyarkat yang
mendepositokan uang nya kepada bank apalagi dalam jumlah besar pasti perlu
asuransi terhadap harta kekayaannya atau yang dimaksud ialah uang yang di
depositokan.
B.
Saran
Alangkah baik dan bijaksana sekali
apabila mendepositokan uang dengan jumlah yang besar kepada bank dengan
mengasuransikannya uang yang didepositokan nya itu. Tetapi saran yang kami
pertimbangkan ialah agar sudah secara otomatis bahwa setiap mendepositokan
dengan jumlah yang sudah ditentukan minimalnya maka sudah termasuk dengan
asuransi nya.
Daftar Pustaka
Man Suparman
Sastrawidjaja, Aspek-Aspek Hukum Asuransi
Dan Surat Berharga, Bandung: Penerbit Alumni, 1997
H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia
Jilid 6 Hukum Pertanggungan, Jakarta: Djambatan,1986
Emmy
Pangaribuan Simanjuntak. Hukum
Pertanggungan. YogyaKarta: Liberty, 1980
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung:
Binacipta, 1987
Man Suparman
Sastrawidjaja,Endang. Hukum Asuransi,
Bandung: Penerbit Alumni, 2004
Comments
Post a Comment